Cerpen - Di tengah gelapnya malam membentang kesunyian sebuah taman yang teramat sepi ku lihat seorang wanita muda yang duduk termenung di bawah pepohonan besar. Saat awan telah memperlihatkan warna hitam kecoklatannya yang tak lama lagi akan menurunkan butir-butir air dari langit, terlihat wanita muda ini seperti sedang menunggu seorang pangeran yang mengendarai kuda terbang datang menghampiri dan menjemputnya, yang kemudian akan ia sambut dengan penuh keceriaan hati.
Saat itu tak ada saatu orangpun yang memperdulikan wanita muda ini. Ia hanya duduk terdiam dengan wajah murungnya diantara dedaunan yang gugur berjatuhan tertiup oleh kencangnya angin malam. Saat siang hari taman ini mengeluarkan hawa panas dan debu kotor yang bertebaran, namun ketika malam hari debu kotor itu tersapu oleh butiran-butiran embun yang menyejukkan sepanjang jalan dan dedaunan yang ada diantara pohon-pohon besar disekitar taman itu. Karena itulah seorang wanita muda ini senang mengunjungi taman ini ketika malam hari untuk mencuatkan rasa sedihnya ataupun rasa marahnya sekaligus. Karena saat malam hari, taman yang tadinya ramai berubah menjadi tempat yang sangat sunyi seolah-olah tempat ini akan membawa wanita muda ini ke alam lain.
Disetiap langkah dan perkataan yang wanita muda ini ucapkan sangat memberikan suasana haru. Namanya Chindy berusia sekitar 18 tahun. Setiap harinya ia selalu menghabiskan waktu untuk pergi ke taman ini, tepatnya pada malam hari. Ia melakukan hal itu karena ia merasa sangat kesepian, merasa tak ada satu orang pun yang memperdulikannya ataupun menyayanginya, bahkan orang tuanya sekalipun. Mungkin itu hanya prasangka yang ada pada diri chindy. Tapi ia selalu berkata bahwa hidupnya sudah tak memiliki arti lagi.
Suatu hari ia datang menemui salah satu sahabatnya disebuah café dekat taman. Hingga akhirnya merekapun berbincang-bincang. Tapi ditengah-tengah perbincangannya tiba-tiba datang seorang pria separuh baya (20 tahun) menghampiri, sehingga perbicaraan mereka terpotong begitu saja. “Hai, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” kata pria separuh baya. “Maaf, sepertinya tidak pernah”, jawab Chindy singkat. “Apakah kamu selalu mengunjungi taman dekat café ini dan pernahkah kamu tertidur hingga pagi hari?”, sambung pria ini. “Tau dari mana?”, jawab Chindy penasaran. Tetapi pria ini malah pergi meninggalkan Chindy dan temannya tanpa sepatah katapun. Chindy semakin terdiam dan terheran-heran dengan pria yang tiba-tiba menemuinya itu, bagaimana dia bisa mengetahui kunjungan Chindy ke taman di dekat café setiap malam bahkan sampai tertidur. Sementara itu setiap ia di taman, ia tak pernah melihat ada seorangpun yang berada di taman tersebut. Ketakutan dan kecurigaannya semakin memburu hati Chindy.
Keesokan malam seperti biasa, Chindy mengunjungi taman dengan wajah yang lagi-lagi sangat murung. Malam ini wajahnya terlihat bergitu pahit dan tak mengeluarkan sinarnya sedikitpun. Ia duduk dibawah pohon besar yang biasa ia tempati setiap malam. Seolah-olah ia lupa kalau tadi siang ia telah bertemu seorang pria yang dalam diam telah mengawasinya selama ia berada di taman. Beberapa menit kemudian Chindy melihat ada seorang pria yang melintas dari depan wajahnya. Seketika ia mengingat tentang pria separuh baya di siang itu. Dengan cekatan ia menghampiri pria itu dan menarik tangan kanannya. Tetapi setelah pria itu menoleh kearah Chindy, ia dikejutkan dengan wajah yang berbeda dari pria ini dengan yang menemuinya disiang itu. “Ma.. maaf mas”, (dengan gagap) kata Chindy. “Iya tidak apa-apa”, (tersenyum) jawab pria ini. Chindy kembali keposisi awalnya duduk dibawah pohon besar itu. Tak lama kemudian Chindy pun pulang.
Setelah malam itu, Chindy tak pernah datang lagi mengunjungi taman itu. Mungkin dia telah melupakan kata-kata putus asa yang pernah dia ucapkan itu. Tapi akhirnya beberapa minggu setelah ia tak pernah mengunjungi taman ini tiba-tiba ia datang lagi dengan tangisan yang mengharukan dan membuat orang yang melihatnya mungkin akan bertanya-tanya apa yang telah terjadi dengan diri Chindy. Tapi beruntungnya takkan ada orang yang menanyakan hal itu kepada Chindy, karena seperti biasa taman ini akan sepi ketika malam hari, hanya tetesan embun serta gugurnya dedaunan yang menemani tangisan Chindy. Chindy kembali merasakan kehampaan dalam dirinya yang mungkin takkan terobati lagi di malam ini. Ia semakin merasa bahwa ia telah hidup dalam dunia yang tak dapat membanggakan dirinya sama sekali. Bahkan apa yang telah ia impikan agar datang seorang pangeranpun tak ada tanda-tanda akan kemunculannya.
Ditengah harunya di malam ini ia kembali berangan-angan dan membayangkan kalau saja tiba-tiba datang pangeran itu, ia akan memeluk dengan eratnya dan ingin terbang bersama pangeran dengan kuda terbang yang dibawanya dan meninggalkan semua beban derita yang selama ini ia rasakan. Keinginannya untuk meninggalkan kehampaan hatinya sangat kuat, hanya saja dengan angan-angan yang salah yang mungkin takkan pernah terjadi. Hingga akhirnya ia terlarut dalam halusinasinya. Ia berpegang teguh dengan halusinasinya yang konyol itu dan akan terus menunggu sang pangeran yang membawa kuda terbang untuk membawanya pergi ke dunia yang mungkin tak pernah ia rasakan sebelumnya. Karena kekonyolan halusinasi itu, tiba-tiba ia berdiri dari duduknya dan mencoba menaiki pohon besar yang berada tepat dibelakang tempat ia duduk. Ia ingin mencoba terbang tanpa bantuan sang pangeran kuda yang menjemputnya. Sangat konyol.
Tapi tak lama kemudian datanglah seorang pria yang saat siang itu menjumpainya di café dekat taman. Chindy tak sadarkan diri bahwa dibawah pohon yang ia naiki telah ada seorang pria yang menanti. Ia tersadar ketika pria ini memanggil namanya. Chindy pun dikejutkan dengan panggilan itu yang membuatnya berfikir bahwa pria itu adalah sang pangeran kuda yang akan membawanya terbang dari kehampaan yang ia rasakan saat ini. Lagi-lagi kekonyolan itu muncul dari benak Chindy.
Akhirnya Chindy pun turun dan memeluk pria itu tanpa mengucapkan sepatah katapun. Pria ini hanya terdiam dan menyambut pelukan Chindy seolah-olah ia memang pangeran yang telah ditunggunya. Untungnya Chindy tak benar-benar mengiginkan terbang bersama pria ini. Setelah terlepas dari pelukan sang pria, Chindy pun baru menyadari bahwa pria ini adalah pria yang telah menemuinya beberapa minggu yang lalu di café siang itu. Chindy tak memperdulikan hal itu, seolah-olah ia melupakan kejadian di café tersebut. Yang ia inginkan hanyalah sambutan manis dari sang pria ini yang akan membawanya lupa akan kehampaan dalam hidupnya.